NAMA :
Anggi Sactyani
NPM :
30110832
KELAS :
3 DB 17
1. Sejarah Perbankan di Indonesia
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas
dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada
masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada
tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche
Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli
pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta terdapat
beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank-bank yang
ada itu antara lain.
1.
De Javasce NV.
2.
De Post Poar Bank.
3.
Hulp en Spaar Bank.
4.
De Algemenevolks Crediet Bank.
5.
Nederland Handles Maatscappi (NHM).
6.
Nationale Handles Bank (NHB).
7.
De Escompto Bank NV.
8.
Nederlansche Indische Handelsbank
Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang
Indonesia dan orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut antara lain:
1.
NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank
2.
Bank Nasional indonesia.
3.
Bank Abuan Saudagar.
4.
NV Bank Boemi.
5.
The Chartered Bank of India, Australia and China
6.
Hongkong & Shanghai Banking Corporation
7.
The Yokohama Species Bank.
8.
The Matsui Bank.
9.
The Bank of China.
10.
Batavia Bank.
Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah
maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah
Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain:
1.
NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank OCBCNISP),
didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung
2.
Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang
dikenal dengan BNI '46.
3.
Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini
berasal dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
4.
Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
7.
Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian
menjadi Bank Amerta.
9.
Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun
1950 kemudian merger dengan
Bank Pasifik.
10.
Bank Timur NV di Semarang berganti
nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun
1949.
Doktrin Bank Berjuang
Bank Pemerintah
Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61
tanggal 6 Januari 1961 yang melarang pengumuman dan penerbitan angka-angka
statistik moneter/perbankan, maka antara tahun 1960-1965, Bank Indonesia tidak
menerbitkan laporan tahunan, termasuk data statistik mengenai kliring dan
perhitungan sentral.
Pada 5 Juli 1964, atas dasar pertimbangan
politik untuk mempermudah komando di bidang perbankan untuk menunjang Pembangunan Semesta Berencana,
selanjutnya pada tahun 1965 pemerintah menetapkan kebijakan
untuk mengintegrasikan seluruh bank-bank pemerintah ke dalam satu bank dengan
nama Bank Negara Indonesia, prakarsa pengintegrasian bank
pemerintah ini berasal dari ide Jusuf
Muda Dalam, yang
saat itu menjabat sebagai Menteri Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia - yang
baru diangkat dari jabatan semula Presiden Direktur BNI - dan disetujui oleh
Presiden Soekarno. Ide dasarnya adalah menjadikan perbankan sebagai alat
revolusi dengan mottoBank Berdjoang di bawah
pimpinan Pemimpin Besar Revolusi. Nama Bank Negara
Indonesia (BNI) sebagai bank tunggal, diusulkan oleh Jusuf Muda Dalam
sendiri. Hasilnya adalah
lahirnya struktur baru Bank Berdjoang ini menjadikan;
Bank Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit I;
Bank Koperasi Tani dan Nelayan serta Bank Eksim Indonesia menjadi Bank
Negara Indonesia Unit II;
Bank Negara Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit III;
Bank Umum Negara menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan
Bank Tabungan Negara menjadi Bank Negara
Indonesia Unit V.
Akan tetapi tidak semua bank pemerintah
berhasil diintegrasikan ke dalam Bank Berdjoang yakni Bank
Dagang Negara (BDN) dan Bapindo. Luputnya BDN dari proses
pengintegrasian ini terutama karena Presiden Direktur BDNJ.D.
Massie saat itu menjabat sebagai Menteri Penertiban
Bank-bank Swasta Nasional yang tentu mempunyai cukup punya pengaruh untuk
berkeberatan atas penyatuan BDN dengan bank-bank lainnya. Massie beralasan
bahwa kebijakan ini akan membingungkan koresponden bank di luar negeri untuk
penyelesaian L/C ekspor maupun impor karena nama bank yang sama. Sementara,
Bapindo tidak terintegrasi ke dalam Bank Berjuang karena bank ini dibawah Dewan
Pembangunan yang diketuai Menteri Pertama Urusan Pembangunan dengan
anggota-anggota Menteri Keuangan, yang juga Ketua Dewan Pengawas Bapindo, dan
Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota.Dengan demikian, melalui kedudukannya
itu, pengaruh Bapindo cukup kuat untuk menghalangi terintegrasi ke dalam BNI.
Bank Swasta
Pada tahun 1965 pemerintah
hendak mengabungkan seluruh bank swasta atau bank asing dalam Bank
Pembangunan Swasta sebagai satu-satunya bank penghimpun dan penyalur
dari semua dana-dana progresif di sektor swasta dan alat-alat yang dapat
dipergunakan Pembangunan Semesta Berencana dan
rencana-rencana lain yang ditentukan oleh Presiden Republik Indonesia.
Sejarah Bank
Pemerintah
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengenal dunia
perbankan dari bekas penjajahnya, yaitu Belanda.
Oleh karena itu, sejarah perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang
menjajahnya baik untuk bank pemerintahmaupun
bank swasta nasional. Pada 1958, pemerintah melakukan nasionalisasi bank milik
Belanda mulai dengan Nationale Handelsbank (NHB) selanjutnya pada tahun 1959 yang diubah menjadi Bank Umum
Negara (BUNEG kemudian menjadi Bank Bumi Daya) selanjutnya pada 1960 secara berturut-turut
Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara (BDN) dan Nederlandsche
Handelsmaatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) dan
kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII).
Berikut ini akan dijelaskan secara singkat
sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu:
·
Bank Sentral
Bank Sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI)
berdasarkan UU No 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan lagi dnegan UU No 23 Tahun
1999.Bank ini sebelumnya berasal dari De Javasche Bank yang di nasionalkan di
tahun 1951.
·
Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor
Bank ini berasal dari De Algemene Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah
menjadi bank tunggal dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang
bergerak di bidang rural dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi:
1. Yang membidangi rural
menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan UU No 21 Tahun 1968.
2. Yang membidangi Exim
dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor Indonesia.
·
Bank Negara Indonesia (BNI '46)
Bank ini menjalani BNI Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank
Negara Indonesia '46.
·
Bank Dagang Negara(BDN)
BDN berasal dari Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun
1960, namun PP (Peraturan Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan UU No
18 Tahun 1968 menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank
Pemerintah yangberada diluar Bank Negara Indonesia Unit.
·
Bank Bumi Daya (BBD)
BBD semula berasal dari Nederlandsch Indische Hendles Bank, kemudian menjadi
Nationale Hendles Bank, selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit
IV dan berdasarkan UU No 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya.
·
Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Bank ini didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No 13
Tahun 1962.
·
Bank
Tabungan Negara (BTN)
BTN berasal dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos
tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir
menjadi Bank Tabungan Negara dengan UU No 20 Tahun 1968.
·
Bank Mandiri
Bank Mandiri merupakan hasil merger antara Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang
Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor
Indonesia (Bank Exim). Hasil merger keempat bank ini dilaksanakan pada tahun
1999.
Sejarah BI
Kelembagaan
Sejarah kelembagaan Bank Indonesia dimulai
sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang
Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Dalam melakukan tugasnya sebagai
bank sentral, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan
Penasehat. Di tangan Dewan Moneter inilah, kebijakan moneter ditetapkan, meski
tanggung jawabnya berada pada pemerintah. Setelah sempat dilebur ke dalam bank
tunggal, pada masa awal orde baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU
No. 13/1968 tentang Bank Sentral. Sejak saat itu, Bank Indonesia berfungsi
sebagai bank sentral dan sekaligus membantu pemerintah dalam pembangunan dengan
menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter.
Dengan demikian, Bank Indonesia tidak lagi dipimpin oleh Dewan Moneter. Setelah
orde baru berlalu, Bank Indonesia dapat mencapai independensinya melalui UU No.
23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004. Sejak
saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan
sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah
dan/atau pihak-pihak lain. Namun, dalam melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan
pula kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Moneter
Setelah berdirinya Bank Indonesia,
kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan
pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca
perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya perbaikan
posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi
terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan negara terus meningkat,
terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi terus
membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan moneter, yaitu tahun
1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa pemulihan
ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian diteruskan
dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di
tengah pasang surutnya kondisi perekonomian, lahirlah berbagai paket kebijakan
ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia.
Mulai pertengahan tahun 1997, krisis
ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem
pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan.
Berbagai langkah ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga beberapa
program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent (LoI)
pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian
semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi.
Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia
dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004. Dalam undang-undang
ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank
Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai
landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar
negeri berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui
Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.
Perbankan
Saat kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, struktur ekonomi
Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. Bank-bank asing masih
merajai kegiatan perbankan nasional, sementara peranan bank-bank nasional dalam
negeri masih terlampau kecil. Hingga masa menjelang lahirnya Bank Indonesia
pada tahun 1953, pengawasan dan pembinaan bank-bank belum terselenggara. De
Javasche Bank adalah bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian
menjelma menjadi BI sebagai bank sentral Indonesia. Beberapa tahun kemudian,
seiring dengan memanasnya hubungan RI-Belanda, dilakukan nasionalisasi atas
bank-bank milik Belanda. Berikutnya, sistem ekonomi terpimpin telah membawa
bank-bank pemerintah kepada sistem bank tunggal yang tidak bertahan lama. Orde
baru datang membawa perubahan dalam bidang perbankan dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Mulai saat itu, sistem
perbankan berada dalam kesatuan sistem dan kesatuan pimpinan, yaitu melalui
pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Bank Indonesia dengan dukungan
pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban bank
swasta nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena
jumlahnya terlalu banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang
sangat lemah dalam permodalan dan manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga
menyediakan dana yang cukup besar melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) untuk program-program Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP), Kredit Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI),
Kredit Koperasi (Kakop), Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya. Dengan
langkah ini, BI telah mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar dalam
pembangunan ekonomi di luar dana APBN.
Industri perbankan Indonesia telah menjadi
industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh pemerintah dan BI.
Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan. Tahun 1983
merupakan titik awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk menetapkan
suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya adalah untuk
membangun sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kebijakan
selanjutnya merupakan titik balik dari kebijakan pemerintah dalam penertiban
perbankan tahun 1971-1972 dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi
Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu kemudahan pemberian ijin usaha bank baru, ijin
pembukaan kantor cabang, dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pada periode selanjutnya, perbankan
nasional mulai menghadapi masalah meningkatnya kredit macet. Hal ini sejalan
dengan meningkatnya pemberian kredit oleh perbankan terutama untuk sektor
properti. Keadaan ekonomi mulai memanas dan tingkat inflasi mulai bergerak
naik.
Ketika krisis moneter 1997 melanda,
struktur perbankan Indonesia porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997,
dikeluarkan kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini
mengakibatkan kepanikan di masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia turun
mengatasi keadaan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas dasar
kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan
restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah.
Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran di Indonesia terbagi
menjadi dua, yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai. Dalam Undang-Undang
(UU) No. 11/1953 ditetapkan bahwa Bank Indonesia (BI) hanya mengeluarkan uang
kertas dengan nilai lima rupiah ke atas, sedangkan pemerintah berwenang
mengeluarkan uang kertas dan uang logam dalam pecahan di bawah lima rupiah.
Uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah uang kertas bertanda tahun
1952 dalam tujuh pecahan. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 13/1968, BI mempunyai
hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat
pembayaran yang sah dalam semua pecahan. Sejak saat itu, pemerintah tidak lagi
menerbitkan uang kertas dan uang logam. Uang logam pertama yang dikeluarkan
oleh BI adalah emisi tahun 1970. Pada era 1990-an, BI mengeluarkan uang dalam
pecahan besar, yaitu Rp 20.000 (1992), Rp 50.000 (1993), dan Rp 100.000 (1999).
Hal itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan uang pecahan besar seiring dengan
perkembangan ekonomi yang tengah berlangsung saat itu.
Sementara itu, dalam bidang pembayaran non
tunai, BI telah memulai langkahnya dengan menetapkan diri sebagai kantor
perhitungan sentral menjelang akhir tahun 1954. Sebagai bank sentral, sejak
awal BI telah berupaya keras dalam pengawasan dan penyehatan sistem pembayaran
giral. BI juga terus berusaha untuk menyempurnakan berbagai sistem pembayaran
giral dalam negeri dan luar negeri. Pada periode 1980 sampai dengan 1990-an,
pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan volume transaksi pembayaran non tunai
juga semakin meningkat. Oleh karena itu, BI mulai menggunakan sistem yang lebih
efektif dan canggih dalam penyelesaian transaksi pembayaran non tunai. Berbagai
sistem seperti Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL) dengan basis personal computer
dan Sistem Transfer Dana Antar Kantor Terotomasi dan Terintegrasi (SAKTI)
dengan sistem paperless transaction terus dikembangkan dan disempurnakan.
Akhirnya, BI berhasil menciptakan berbagai perangkat sistem elektronik seperti
BI-LINE, Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), Real Time Gross Settlement
(RTGS), Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ), kliring warkat antar
wilayah kerja (intercity clearing), dan Scriptless Securities Settlement System
(S4) yang semakin mempermudah pelaksanaan pembayaran non tunai di Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia (1953 – sekarang)
Mr. Sjafruddin Prawiranegara Masa Jabatan : 1953 – 1958
Mr. Loekman Hakim Masa Jabatan : 1958 – 1959
Mr. Soetikno Slamet Masa Jabatan : 1959 – 1960
Mr. Soemarno Masa Jabatan : 1960 – 1963
T. Jusuf Muda Dalam Masa Jabatan : 1963 – 1966
Radius Prawiro Masa Jabatan : 1966 – 1973
Rachmat Saleh Masa Jabatan : 1973 – 1983
Arifin Siregar Masa Jabatan : 1983 – 1988
Adrianus Mooy Masa Jabatan : 1988 – 1993
J. Soedradjad Djiwandono Masa Jabatan : 1993 – 1998
Sjahril Sabirin Masa Jabatan : 1998 – 2003
Burhanuddin Abdullah Masa Jabatan : 2003 – sekarang
sumber : wikipedia
: http://izzulkifly.blogspot.com/2012/03/sejarah-perbankan-indonesia.html